Beberapa waktu silam, aku berangkat ke kantor, naik angkot. Sewaktu sampai di daerah setasiun Waru, seorang laki-laki mengantarkan seorang kakek tua naik angkot kami.
Semula, aku (dan mungkin penumpang lain yang ada) mengagumi sikap laki-laki itu. Wah, seorang anak yang menghormati ayah (= orang tua)nya.
Eh.... sewaktu mikrolet berjalan, mendadak kami dikagetkan dengan ulah si kakek. Dia meminta uang kepada para penumpang ! Ohhhh ternyata dia seorang pengemus tua?
Lalu, si laki-laki yang kami 'kagumi' tadi siapa? Bukan anaknya? Atau cuma pengantarnya saja???
"ANDA BUTUH WAKTU, KAMI PERLU UANG"
Sabtu, 30 April 2011
Jumat, 29 April 2011
Pilih dan analisa jalur
Walaupun ada 2 atau 3 angkot / mikrolet yang bisa Anda gunakan menuju tempat yang Anda inginkan, perlu juga kita mengevaluasi ciri-ciri yang ada pada mereka. Contoh :
Sebuah jalur ada 2 macam angkot - warna coklat dan warna hijau muda
- Coklat = sering berhenti untuk cari penumpang
- Hijau Muda = sering kebut-kebutan, tapi tidak pernah berhenti cari penumpang.
Mana yang kita pilih ?
Sebuah jalur ada 2 macam angkot - warna coklat dan warna hijau muda
- Coklat = sering berhenti untuk cari penumpang
- Hijau Muda = sering kebut-kebutan, tapi tidak pernah berhenti cari penumpang.
Mana yang kita pilih ?
Selasa, 19 April 2011
Pemuda dari BLORA
Sepulang dari kantor, dalam angkot ke 2 yang membawaku ke rumah, ada seorang pemuda menanyakan jurusan ke 'Sedati', dan naik. Dia membawa ransel dan sebuah kardus. Mungkin berisi pakaian.
Seorang ibu mengajaknya berdialog. Setelah sepi dan tinggal kami bertiga, giliranku bertanya-jawab dengan dia. Berasal dari BLORA, Jawa Tengah. Kemudian akupun mengaku dari Tulungagung, dan bertukar pengalamanku sewaktu masih 'baru pindah' dari desa ke kota Surabaya ini.
Pemuda ini menuju ke Sedati untuk mengerjakan suatu proyek. Kami berdialog dan bercerita tentang sedikit pengalamanku waktu pindah dari desa ke kota Surabaya, tahun 1986 silam, karena tidak mampu kuliah. Aku bekerja di sebuah konveksi, dan sering bertugas ke luar kota - Jawa Timur, Bali, Madura dan Jawa Tengah. Waktu di Jawa Tengah, aku cuma ingat beberapa nama kota yang kami singgahi : Blora, Klaten, Kudus, Temanggung, Wonosobo, dsb...
Dan, kukisahkan bagaimana aku belajar, bekerja, dan sempat memberikan sebagian penghasilanku kepada ibuku di desa, walau waktu sangat singkat. Hanya 2 tahun aku bekerja, ibuku dipanggil Tuhan ! Namun aku bersyukur karena aku sempat meminta ampunan kepadanya, sebelum dia meninggal dunia. (Juga kepada ayahku, kira-kira tahun 1982 dia meninggal, aku sempat minta ampun juga). Belum bisa menjadi anak yang baik - dan membalas kepada orang tua.
Hati-hati, itu pesanku. Jangan mudah percaya kepada orang-orang yang kita jumpai, dan jangan ragu-ragu untuk 'menanamkan kebaikan'... menolong orang lain, sebab kelak, TUHAN akan membalasnya, baik kepada kita atau ke anak-cucu kita.
(Aku tidak memberinya nomor hp ku - jika berjodoh dan dia menemukan tulisan ini, dia pasti ingat, aku menyebut namaku : Pak Yos saja..)
Seorang ibu mengajaknya berdialog. Setelah sepi dan tinggal kami bertiga, giliranku bertanya-jawab dengan dia. Berasal dari BLORA, Jawa Tengah. Kemudian akupun mengaku dari Tulungagung, dan bertukar pengalamanku sewaktu masih 'baru pindah' dari desa ke kota Surabaya ini.
Pemuda ini menuju ke Sedati untuk mengerjakan suatu proyek. Kami berdialog dan bercerita tentang sedikit pengalamanku waktu pindah dari desa ke kota Surabaya, tahun 1986 silam, karena tidak mampu kuliah. Aku bekerja di sebuah konveksi, dan sering bertugas ke luar kota - Jawa Timur, Bali, Madura dan Jawa Tengah. Waktu di Jawa Tengah, aku cuma ingat beberapa nama kota yang kami singgahi : Blora, Klaten, Kudus, Temanggung, Wonosobo, dsb...
Dan, kukisahkan bagaimana aku belajar, bekerja, dan sempat memberikan sebagian penghasilanku kepada ibuku di desa, walau waktu sangat singkat. Hanya 2 tahun aku bekerja, ibuku dipanggil Tuhan ! Namun aku bersyukur karena aku sempat meminta ampunan kepadanya, sebelum dia meninggal dunia. (Juga kepada ayahku, kira-kira tahun 1982 dia meninggal, aku sempat minta ampun juga). Belum bisa menjadi anak yang baik - dan membalas kepada orang tua.
Hati-hati, itu pesanku. Jangan mudah percaya kepada orang-orang yang kita jumpai, dan jangan ragu-ragu untuk 'menanamkan kebaikan'... menolong orang lain, sebab kelak, TUHAN akan membalasnya, baik kepada kita atau ke anak-cucu kita.
(Aku tidak memberinya nomor hp ku - jika berjodoh dan dia menemukan tulisan ini, dia pasti ingat, aku menyebut namaku : Pak Yos saja..)
Rabu, 13 April 2011
Duduk di Ban
Ya, keramahan adalah hal yang mahal pada jaman ini. Itu diakui semua orang.
Pernah, aku naik angkot (aku tinggal di Sidoarjo dan harus ke kota Surabaya - Jawa Timur). Nah, menurut undang-undang yang tidak tertulis tapi disepakati bersama, isi bangku adalah 7 dan 4. Sebenarnya cuma 6 orang yg duduk di bangku itu. Namun waktu aku masuk mereka tidak mau bergeser atau memberi tempat duduk.
Aku malas 'memohon' dan akhirnya aku mengalah duduk di roda / ban yang ada di angkot itu.
Tapi tidak semua begitu. Aku dan istriku belajar sekian tahun untuk 'menyapa telebih dahulu' para tetangga kalau kami berangkat atau lewat depan rumah mereka. Sulit memang. Tapi setelah cukup lama, akhirnya mereka jadi sungkan (mungkin) dan balik menyapa kami lebih dahulu.
Intinya - kita sendiri yang harus memulai, tidak perlu menunggu orang lain. Dan, harus kita tularkan kebiasaan 'ramah' ini ke anak-anak kita, tetangga, dan orang-orang lainnya.
Sukses buat Anda!
(Komentarku di blog seseorang di BLOGDETIK).
Pernah, aku naik angkot (aku tinggal di Sidoarjo dan harus ke kota Surabaya - Jawa Timur). Nah, menurut undang-undang yang tidak tertulis tapi disepakati bersama, isi bangku adalah 7 dan 4. Sebenarnya cuma 6 orang yg duduk di bangku itu. Namun waktu aku masuk mereka tidak mau bergeser atau memberi tempat duduk.
Aku malas 'memohon' dan akhirnya aku mengalah duduk di roda / ban yang ada di angkot itu.
Tapi tidak semua begitu. Aku dan istriku belajar sekian tahun untuk 'menyapa telebih dahulu' para tetangga kalau kami berangkat atau lewat depan rumah mereka. Sulit memang. Tapi setelah cukup lama, akhirnya mereka jadi sungkan (mungkin) dan balik menyapa kami lebih dahulu.
Intinya - kita sendiri yang harus memulai, tidak perlu menunggu orang lain. Dan, harus kita tularkan kebiasaan 'ramah' ini ke anak-anak kita, tetangga, dan orang-orang lainnya.
Sukses buat Anda!
(Komentarku di blog seseorang di BLOGDETIK).
Langganan:
Postingan (Atom)